X

Steven dan Komandan Maksimus

Steven, anak laki-laki berusia 15 tahun, berlari ke arah ayahnya yang memanggil. Ayahnya berkata, “Bawalah tiga paku besar ini kepada Komandan Maksimus. Dia dapat ditemui di dekat Benteng Golgota.” Ayah Steven pandai besi terbaik di Yerusalem, dan putranya sering membantu dalam pengiriman barang. Steven berlari ke Benteng Golgota menemui si komandan, menembus kerumunan yang memadati lorong-lorong sempit dan berliku.  Setelah sampai, ia segera menyerahkan paku-paku itu kepada Maksimus.

Saat hendak kembali ke rumah dia melihat tiga orang tergantung di salib. Steven menatap seorang yang terpaku di salib. Tidak seperti dua orang lainnya yang hanya diikat di salib, yang terpaku itu telah disiksa hebat. Sekujur tubuh dan wajah berlumuran darah. Steven segera mengenalinya. Dia adalah Yesus, guru dari Galilea yang sering mengajarkan kasih kepada Allah dan sesama.

Rupanya tiga paku yang ditempa oleh ayahnya digunakan untuk memaku Yesus. Para Farisi mengejek Yesus. Maksimuspun mengejek, meludahi Yesus. Pikir Steven, mengapa banyak kebencian di hati sang komandan?

Dengan berlinang air mata, Steven berlari pulang ke rumah, tetapi tiga jam kemudian kembali ke tempat Yesus disalibkan. Hari sudah gelap. Yesus telah diturunkan dari salib dan diserahkan kepada ibu dan beberapa temannya. Maksimus ada di situ. Steven memberanikan diri bertanya, “Tuan, bolehkah saya mengambil salah satu paku dari orang yang disalibkan itu?” “Ambillah, kami tidak membutuhkannya lagi,” jawab Maksimus. Steven mengambil, membungkusnya dengan kain. Sejak saat itu, paku tersebut menjadi milik yang paling disayanginya.

Beberapa minggu kemudian ayah Steven menyampaikan bahwa Maksimus sakit parah dan kemungkinan meninggal. Mendengar itu, Steven bergegas ke tempat menyimpan harta karun kecilnya, mengambilnya lalu berlari ke barak prajurit. Sesampai di kamar Maksimus, ia melihat wajah sang komandan pucat dan gemetar. Steven mendekat, menyodorkan paku itu di depan matanya, “Apakah Anda mengingat paku ini, Tuan?” Pria itu mengangguk, tangannya bergetar memegang paku, dan kemudian menjawab lirih, “Terima kasih.” Segera wajah Maksimus berubah cerah, nafasnya teratur, dan berkata, “Butuh beberapa hari untuk memahaminya, tetapi sekarang saya tahu. Memang benar Dia telah bangkit dan memaafkan saya.” Stevenpun mengangguk tersenyum.

***

Prapaskah adalah momen istimewa untuk perjalanan rohani saat doa, sedekah, pantang dan puasa memberikan pertolongan yang besar. Seperti Maksimus, kita juga harus mengakui bahwa sering tidak siap menerima Yesus, dan karena itu membutuhkan perjalanan rohani yang sehat. Ingatlah, Yesus juga mengalami hal ini ketika Ia dicobai iblis di padang gurun. Di satu sisi terlihat membingungkan, tetapi di sisi lain, membuat kita mengerti bahwa Tuhan ingin menjadi sama seperti manusia yang mengalami pencobaan setiap hari.

Dalam perjalanan rohani itu kita bertanya pada diri sendiri: apakah hanya mementingkan kepuasan pribadi atau hidup berguna bagi orang lain? Apakah hanya ingin memaksakan ide-ide atau  menerima pandangan orang lain? Apakah hanya mengejar kesuksesan dan harta atau juga berusaha menjangkau mereka yang tersisihkan?

Perjalanan ini membantu kita melewati saat-saat tergelap dalam hidup: duka, konflik, kesalahpahaman, manipulasi, penolakan dan sakit hati untuk sampai pada Paskah merayakan keselamatan sebagai buah kasih Tuhan yang luar biasa. (EP)

Frans: ...hanyalah seorang yang dalam perjuangan memperbaiki dan menata diri sendiri. Semoga website ini memberi inspirasi yang baik kepada para pembacanya. Amin.